Masyarakat Indonesia di Era Reformasi
Kondisi Ekonomi dan Sosial Masyarakat Pada Awal Era Reformasi
Era
keterbukaan dan demokratisasi di era reformasi ternyata tidak diikuti suasana
tenang, aman, dan tentram dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Apabila
dalam kehidupan politik tejadi konflik vertikal, maka dalam kehidupan masyarakat bawah terjadi konflik horizontal.
Konflik ditandai dengan pertentangan antarkelompok
etnis di berbagai daerah. Kasus paling menonjol, yaitu bentrokan antaretnik di Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Konflik tersebut sangat kompleks
dan dilatarbelakangi masalah-masalah sosial ekonomi, dan agama.
Konflik
antarkelompok etnis dan agama di masa krisis ini telah menambah penderitaan warga. Krisis ekonomi telah
diperburuk dengan krisis hubungan sosial antara kelompok masyarakat.
Sejak konflik terjadi pada 1997, tercatat sejumlah 1.247.449 orang pengungsi Indonesia di negerinya sendiri. Kamp-kamp
pengungsi tersebar di berbagai daerah
dan memperlihatkan bahwa penderitaan warga bertambah parah akibat kejadian tersebut. Dari dua puluh
daerah tempat pengungsian, Provinsi Maluku
merupakan daerah paling banyak menampung pengungsi dari daerahnya sendiri. Tercatat 300.000 orang pengungsi di
Maluku dan 125.5000 orang pengungsi di
Maluku Utara.
Di tempat tersebut, mereka, mengalami penderitaan yang berat karena serba kekurangan fasilitas sanitasi, bahan makanan
serta, sarana tempat tinggal. Buruknya lingkungan
menyebabkan munculnya berbagai penyakit, seperti demam, tifus, penyakit kulit, diare, dan kekurangan gizi. Adapun
anak-anak usia sekolah tidak mendapat kesempatan mendapat
pendidikan formal. Sulit dibayangkan bagaimana
nasib masa depan anak-anak pengungsi tersebut ketika masa keciInya tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya mereka
dapatkan. Pemerintahan, di era reformasi
yang sedang krisis ini tampaknya tidak memiliki cukup dana untuk mengatasi sejuta
lebih pengungsi warganya.
Kemiskinan dan kesengsaraan warga pada era krisis telah
mendorong mereka melakukan berbagai
cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak krisis pada 1997 terjadi 14 kali penjarahan perkebuhan oleh warga,
terutama di Jawa Timur. Mereka menjarah
perkebunan kayu jati, kakau yang siap panen, kopi, dan kelapa sawit. Warga
juga melakukan pendudukan lahan perkebunan yang dianggap merupakan hasil
jarahan para pengusaha di era Orde Baru.
Pada Juli 1998 terjadi pendudukan lahan
petemakan di Tapos, Bogor, Jawa Barat yang dimiliki mantan Presiden Soeharto. Demikianjuga pendudukan lahan di Lampung
pada Agustus 1998 tejadi pengkaplingan 1.400 hektar lahan yang dimiliki
putra sulung Presiden Soeharto. Pendudukan tersebut berakhir setelah aparat
keamanan turun tangan.
Penjarahan tambak udang mengindi-kasikan
adanya kekerasan warga serta kesenjangan ekonomi antara industri modem dan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat bawah.
Warga merasa tersisih dan tidak mendapat apa-apa dari lahan yang dulu mereka
miliki setelah berubah menjadi tambak udang. Tambak tersebut dikelola
secara modem dan mendatangkan keuntungan besar bagi pengusaha, sementara masyarakat sekitar tidak dilibatkan
dalam kegiatan tersebut. Kenyataan
yang terjadi kemudian adalah munculnya keluarga-keluarga miskin yang kurang
gizi.
|
.
|
Krisis ekonomi berdampak pada masalah pendidikan. Semasa
krisis, banyak orangtua yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Antara 1997- 2002, hampir 5 persen anak usia sekolah
dari semua tingkat mengalami putus sekolah.
Penyebabnya, antara lain semakin mahalnya biaya pendidikan sehingga banyak
orangtua yang tidak mampu lagi membiayai pendidikan anak-anaknya.
Untuk
mengatasi masalah kemiskinan serta kesulitan pembiayaan sekolah, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa program Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Program ini bertujuan untuk:
a. memulihkan
kecukupan pangan,
b. menciptakan kesempatan
kerja,
c. memulihkan
pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan
d. memulihkan
kegiatan ekonomi rakyat.
Program yang diluncurkan pada, 1998 tersebut didanai dari
APBN serta pinjaman luar negeri. Program
ini telah dirasakan manfaatnya oleh rakyat miskin yang menjadi sasaran program ini. MisaInya,
masyarakat dilibatkan dalam program budidaya ayam. buras,
tambak udang, beasiswa serta dana bantuan operasional bagi sekolah-dasar dan menengah serta bidang kesehatan. Namun demikian,
dalam pelaksanaannya tidak semua program mencapai sasarannya.
Penyebabnya, korupsi dalam bentuk kesalahan prosedur, penyelewengan, dan
kesalahan administrasi.
Pada
tanggal 9 April 2009 dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih calon
legislatif angota DPR, DPD, dan DPRD yang diikuti oleh 38 partai politik.
Penetapan hasil Pemilu yang diperoleh 38 partai peserta pemilu nasional itu
dibacakan oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary pada Sabtu malam 9 Mei 2009.
Jumlah suara sah 104.099.785 (60,78%), suara tidak sah 17.488.581 (10,21%)
dan yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 49.677.076 (29.01%). Jadi total suara tidak sah dan yang tidak menggunakan hak pilihnya
sebesar 67.165.657 atau 39,26% dari jumlah
pemilih
|
terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) yakni
171.265.442 pemilih. Belum lagi ditambah puluhan juta pemilih yang terpaksa
Golput karena tidak terdaftar dalam DPT. Jumlah suara sah yaitu 104.099.785,
lebih rendah dibandingkan dengan pemilu legislatif 2004. Pada pemilu 5 April
2004, jumlah suara sah yaitu 113.462.414. Berdasarkan perhitungan suara sah
itu, KPU telah mensahkan perolehan suara parpol untuk DPR periode 2009-2014
dari 33 provinsi dengan 77 daerah pemilihan (dapil).
Partai Demokrat meraih suara terbanyak (pemenang)
dengan meraih suara nasional 21.703.137 (20,85%) dan memperoleh 148 kursi DPR
atau 26,43% dari keseluruhan kursi parlemen yang berjumlah 560 kursi. Disusul
Partai Golkar 15.037.757 suara (14,45%) dan mendapatkan 108 kursi DPR
(19,29%), PDI Perjuangan 14.600.091 (14,03%) suara dan 93 kursi (16,61%), PKS
8.206.955 (7,88) suara dan 59 kursi (10,54%), PAN 6.254.580 (6,01%) suara dan
42 kursi (7,50%), PPP 5.533.214 (5,32%) suara dan 39 kursi (6,96%), PKB
5.146.122 (4,94%) suara dan 26 kursi (4,64%), Gerindra 4.646.406 (4,46%)
suara dan 30 kursi (5,36%), dan Hanura 3.922.870 (3,77%) suara dan 15 kursi
(2,68%). Hanya sembilan Parpol tersebut yang lolos parliamentary threshold 2,5%.
|
Penghitungan suara dari hasil pemilu legislatif ini
juga terlibat beberapa lembaga survei seperti LSI (Lembaga Survei Indonesia),
LSN (Lembaga Survei Nasional), dan Cirus yang melakukan penghitungan cepat (quick count). Hasil quick count dari beberapa lembaga survei
tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penghitungan suara yang
diselenggarakan oleh KPU. Dengan disahkannya hasil perolehan kursi dan suara
nasional, itu partai politik akan memastikan langkah koalisinya menuju
pemilihan presiden. Sesuai ketententuan partai atau gabungan partai yang
memperoleh 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional, berhak mengajukan calon
presiden dan calon wakil presiden. Pendaftaran Capres-Cawapres dimulai 11 Mei
sampai 16 Mei 2009.
Setelah saling menjajagi persamaan visi dan misi
setiap partai politik yang lolos ke Senayan untuk berkoalisi dalam
pemerintahan, akhirnya terdapat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden
yang akan berkompetisi dalam pemilihan langsung presiden dan wakil presiden
pada 9 Juli 2009. Ketiga pasangan tersebut adalah pasangan Megawati
Soekarnoputri dari PDI Perjuangan dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra (Mega-Pro) dengan nomor urut 1, pasangan
Soesilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dan Boediono mantan Gubernur BI (SBY-Berbudi) dengan nomor urut 2, serta
pasangan Jusuf Kalla dari Partai Golkar dan Wiranto dari Partai Hanura (JK-Win), dengan nomor urut 3.
Sumber : http://akrabsenada.blogspot.com/2013/08/kondisi-ekonomi-dan-sosial-masyarakat.html
Kehidupan NKRI pada Masa Orde Baru
a. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ORDE BARU
Terjadinya banyak penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan dalam masa Demokrasi Terpimpin.
Gerakan ini bermula dari kalangan TNI AD yang pada bulan April 1966 melancarkan
gerakan kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru (Orba) merupakan
lawan dari Orde Lama (Orla). Tonggak pelaksanaan Orde Baru adalah Supersemar
b. PERKEMBANGAN KEKUASAAN ORDE BARU
Pada hakikatnya Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan penyelewengan yang terjadi pada masa lalu (ingat penyimpangan –penyimpangan pada masa Demokrasi Terpimpin)
Upaya pemerintah mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasar
Pancasila dan UUD 1945 al. :
a. mengukuhkan Supersemar, dgn tap MPRS no IX/MPRS/1966 (sehingga Presiden tidak dapat mencabutnya)
b. mengukuhkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta larangan penyebaran ajaran Marxisme –Komunisme di Indonesia( termasuk mencabut ajaran nasakom) dgn tap MPRS no XXV/MPRS/1966
c. memberi kekuasaan kpd Jend.Soeharto to bentuk Kab. Ampera, dgn tap MPRS no XIII/MPRS/1966
d. mencabut pengangkatan Soekarno sbg Presiden seumur hidup dgn tap no XVIII/MPRS/1966
e. menempatkan MPRS sbg lembaga tertinggi negara ,dgn tap no X /MPRS/1966 ( shg kemudian mengadakan sidang 20/21 Juni-5 Juli 1966)
f. mencabut kekuasaan negara dr Presiden Soekarno dan menetapkan Jend,Soeharto sbg Presiden , setelah pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno(Nawaksara ) ditolak oleh MPRS, dgn tap MPRS no XXXIII/MPRS/1967
Pancasila dan UUD 1945 al. :
a. mengukuhkan Supersemar, dgn tap MPRS no IX/MPRS/1966 (sehingga Presiden tidak dapat mencabutnya)
b. mengukuhkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta larangan penyebaran ajaran Marxisme –Komunisme di Indonesia( termasuk mencabut ajaran nasakom) dgn tap MPRS no XXV/MPRS/1966
c. memberi kekuasaan kpd Jend.Soeharto to bentuk Kab. Ampera, dgn tap MPRS no XIII/MPRS/1966
d. mencabut pengangkatan Soekarno sbg Presiden seumur hidup dgn tap no XVIII/MPRS/1966
e. menempatkan MPRS sbg lembaga tertinggi negara ,dgn tap no X /MPRS/1966 ( shg kemudian mengadakan sidang 20/21 Juni-5 Juli 1966)
f. mencabut kekuasaan negara dr Presiden Soekarno dan menetapkan Jend,Soeharto sbg Presiden , setelah pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno(Nawaksara ) ditolak oleh MPRS, dgn tap MPRS no XXXIII/MPRS/1967
Upaya mengembalikan pelaksanaan politik luarnegeri yang bebas aktif al.:
a. menghentikan konfrontasi dgn Malaysia 11-8-1966
b. masuk kembali menjadi anggota PBB tgl 28 –9-1966
c. membentuk ASEAN 8-8-1967
d. menetapkan kembali kebijakan politik luarnegeri bebas aktif, dgn tap no XII/MPRS/1966
e. aktif dalam Gerakan Non Blok
a. menghentikan konfrontasi dgn Malaysia 11-8-1966
b. masuk kembali menjadi anggota PBB tgl 28 –9-1966
c. membentuk ASEAN 8-8-1967
d. menetapkan kembali kebijakan politik luarnegeri bebas aktif, dgn tap no XII/MPRS/1966
e. aktif dalam Gerakan Non Blok
Pada tanggal 3 Pebruari 1967 DPR-GR yang menganjurkan kepada Soeharto
untuk melaksanakan Sidang Istimewa, sehingga pada 20 Pebruari 1967
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.
c. KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU
Pembangunan Nasional
Setelah pemerintahan Orde Baru berdiri, dicanangkan berbagai konsepsi dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah utama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah membentuk Kabinet Pembangunan I sesuai dengan Tap MPRS No. XLI/MPRS/1968 pada 6 Juni 1968.
Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
a. menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
b. menyusun dan merencanakan Repelita;
c. melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
d. mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
e. melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
Setelah berhasil memulihkan keamanan kemudian pemerintah melaksanakan pembangunan Nasional jangka pendek dan jangka panjang melalui Pelita yang tidak terlepas dari Trilogi Pembangunan, yaitu
a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup timggi
c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Sejak Orde Baru berkuasa telah banyak perubahan yang dicapai oleh bangsa Indonesia, langkah yang dilakukannya adalah menciptakan stabilitas ekonomi politik. Tujuan perjuangannya adalah menegakkan tata kehidupan negara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Kabinet yang pertama kali dibentuk adalah Kabinet AMPERA dengan tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional yang disebut DWI DHARMA KABINET AMPERA.
Setelah pemerintahan Orde Baru berdiri, dicanangkan berbagai konsepsi dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah utama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah membentuk Kabinet Pembangunan I sesuai dengan Tap MPRS No. XLI/MPRS/1968 pada 6 Juni 1968.
Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
a. menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
b. menyusun dan merencanakan Repelita;
c. melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
d. mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
e. melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
Setelah berhasil memulihkan keamanan kemudian pemerintah melaksanakan pembangunan Nasional jangka pendek dan jangka panjang melalui Pelita yang tidak terlepas dari Trilogi Pembangunan, yaitu
a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup timggi
c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Sejak Orde Baru berkuasa telah banyak perubahan yang dicapai oleh bangsa Indonesia, langkah yang dilakukannya adalah menciptakan stabilitas ekonomi politik. Tujuan perjuangannya adalah menegakkan tata kehidupan negara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Kabinet yang pertama kali dibentuk adalah Kabinet AMPERA dengan tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional yang disebut DWI DHARMA KABINET AMPERA.
Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
Golongan Karya (Golkar)
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
Golongan Karya (Golkar)
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
ü Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
ü Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
ü Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
ü Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).
2) Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3) Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
4) Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
ü Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
ü Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
ü Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
ü Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).
2) Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3) Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
4) Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan
kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu
berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum,
Bebas, dan Rahasia).
Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 (tap MPR no II/MPR/1978mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 (tap MPR no II/MPR/1978mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
a. Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Stabilitas tersebut dianggap oleh pemerintah ini sebagai syarat berhasilnya pelaksanaan pembangunan serta terselenggaranya pemerintahan. Untuk memperbaiki kehidupan rakyat yang selama pemerintahan Orde Lama berada dalam kehidupan yang berat karena mengalami serba kekurangan, pemerintah Orde Baru melakukan rencana Pelita.
Sampai tahun 1998, telah dilaksanakan enam pelita. Pelita merupakan langkah pembangunan yang tersusun dan terencana dengan sasaran dan tujuan yang jelas. Melalui langkah-langkah tersebut terlihat adanya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang terlihat dari kondisi objektif sebagai berikut :
1) Meningkatnya pendapat per kapita penduduk Indonesia. Pada tahun 1982, Bank Dunia sudah menggolongkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah karena berpendapatan sekitar 600 dolar AS per tahun meninggalkan kategori sebagai negara miskin, dan pada tahun 1996 per kapita Indonesia sudah mencapai 1.000 dolar AS. Penggolongan ini tentu saja membanggakan pemerintah yang sedang berkuasa saat itu dan dijadikan sebagai isu politik bahwa pembangunan telah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, peningkatan tersebut (pertumbuhan ekonomi) ternyata tidak diikuti dengan pemerataan pendapat penduduk.
2) Meningkatnya produksi pangan sehingga Indonesia pernah dikategorikan oleh badan pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1986 sebagai negara yang paling berhasil meningkatkan swasembada pangan khususnya beras sehingga Indonesia bisa mengekspor beras.
3) Meningkatnya berbagai sarana untuk menunjang tercapainya kesejahteraan penduduk. Misalnya, sarana pendidikan serta kesempatan penduduk untuk menikmati pendidikan telah meningkat. Melalui program wajib belajar, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden berupa penyediaan dana yang cukup banyak untuk membangun sara pendidikan, terutama pendidikan dasar (SD Inpres). Melalui kebijakan tersebut, jumlah penduduk yang melek hurup meningkat. Pada tahun 1967, tingkat melek hurup hanya 46,7%, tetapi pada tahun 1990-an meningkat menjadi lebih dari 90%.
4) Pada masa ini Indonesia mengalami stabilitas ekonomi yang baik. Pada awal Orde Baru, inflasi hanya mencapai 10% dan selalu berada di bawah 10%. Stabilitas ekonomi ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya dunia usaha di Indonesia. Harapan usia hidup terus meningkat yang mengindikasikan meningkatnya kesejahteraan.
5) Rata-rata jumlah pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan setiap tahun, dengan dilaksanakannya program Keluarga Berencana (KB).
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) yang diangkat adalah lulusan Universitas California Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan ekonomi, industri dan keuangan Indonesia. Mereka itu adalah Emil Salim, Ali Wardhana, Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Soebroto.
Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI (Inter Governmental on Group for Indonesia) yang disponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI (Consultative Group for Indonesia) yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti IMF, UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (Ekuin) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama pasca krisis moneter 1997.
Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.
Pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Stabilitas tersebut dianggap oleh pemerintah ini sebagai syarat berhasilnya pelaksanaan pembangunan serta terselenggaranya pemerintahan. Untuk memperbaiki kehidupan rakyat yang selama pemerintahan Orde Lama berada dalam kehidupan yang berat karena mengalami serba kekurangan, pemerintah Orde Baru melakukan rencana Pelita.
Sampai tahun 1998, telah dilaksanakan enam pelita. Pelita merupakan langkah pembangunan yang tersusun dan terencana dengan sasaran dan tujuan yang jelas. Melalui langkah-langkah tersebut terlihat adanya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang terlihat dari kondisi objektif sebagai berikut :
1) Meningkatnya pendapat per kapita penduduk Indonesia. Pada tahun 1982, Bank Dunia sudah menggolongkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah karena berpendapatan sekitar 600 dolar AS per tahun meninggalkan kategori sebagai negara miskin, dan pada tahun 1996 per kapita Indonesia sudah mencapai 1.000 dolar AS. Penggolongan ini tentu saja membanggakan pemerintah yang sedang berkuasa saat itu dan dijadikan sebagai isu politik bahwa pembangunan telah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, peningkatan tersebut (pertumbuhan ekonomi) ternyata tidak diikuti dengan pemerataan pendapat penduduk.
2) Meningkatnya produksi pangan sehingga Indonesia pernah dikategorikan oleh badan pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1986 sebagai negara yang paling berhasil meningkatkan swasembada pangan khususnya beras sehingga Indonesia bisa mengekspor beras.
3) Meningkatnya berbagai sarana untuk menunjang tercapainya kesejahteraan penduduk. Misalnya, sarana pendidikan serta kesempatan penduduk untuk menikmati pendidikan telah meningkat. Melalui program wajib belajar, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden berupa penyediaan dana yang cukup banyak untuk membangun sara pendidikan, terutama pendidikan dasar (SD Inpres). Melalui kebijakan tersebut, jumlah penduduk yang melek hurup meningkat. Pada tahun 1967, tingkat melek hurup hanya 46,7%, tetapi pada tahun 1990-an meningkat menjadi lebih dari 90%.
4) Pada masa ini Indonesia mengalami stabilitas ekonomi yang baik. Pada awal Orde Baru, inflasi hanya mencapai 10% dan selalu berada di bawah 10%. Stabilitas ekonomi ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya dunia usaha di Indonesia. Harapan usia hidup terus meningkat yang mengindikasikan meningkatnya kesejahteraan.
5) Rata-rata jumlah pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan setiap tahun, dengan dilaksanakannya program Keluarga Berencana (KB).
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) yang diangkat adalah lulusan Universitas California Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan ekonomi, industri dan keuangan Indonesia. Mereka itu adalah Emil Salim, Ali Wardhana, Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Soebroto.
Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI (Inter Governmental on Group for Indonesia) yang disponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI (Consultative Group for Indonesia) yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti IMF, UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (Ekuin) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama pasca krisis moneter 1997.
Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.
b. Meningkatnya Peran Negara dan Kontroversi Seputar Orde Baru
Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa (sekitar 32 tahun), istilah pembangunan, stabilitas, dan pertumbuhan telah menjadi jargon politik (propaganda politik) yang dijalankan oleh pemerintah. Untuk mencapi tujuan tersebut, negara telah mengambil peran yang menentukan dengan menempatkan kekuasaan yang besar di tangan presiden. Namun, dengan struktur politik yang dibuat pemerintah serta pengorganisasian seluruh unsur politik dan potensi masyarakat, peran negara semakin kuat yang dipresentasikan oleh semakin kuatnya tangan eksekutif pada Presiden Soeharto.
Untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan tahapan pelita yang direncanakan maka diperlukan stabilitas. Stabilitas akan tercipta apabila “oposisi” terhadap pemerintah dapat dikendalikan. Untuk itu, birokrasi pemerintahan dijaga dari unsur-unsur yang mampu melawan negara. Para pegawai pemerintah diorganisir dalam Korps Pegawai republik Indonesia(Korpri). Para buruh, pengusaha, wartawan, guru, pemuda, pelajar, mahasiswa, dan kelompok profesional ditampung dalam wadah yang disponsori pemerintah. Oleh karena itu lahirlah PGRI, IDI, KNPI, Kadin, PWI, dll.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada massa itu dikenal tiga partai Politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik dimana muncullah istilah “mayoritas tunggal” dimana Golkar dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Soeharto membangun dan memperluas konsep “Jalan Tengah”-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen. Melalui konsep dwi fungsi ABRI, angkatan bersenjata bukan hanya berfungsi menjaga keamanan dan integrasi bangsa, melainkan juga sebagai kekuatan dalam kehidupan politik. Hal ini bisa dilihat pada masa itu para pemimpin pejabat-pejabat negara berasal dari ABRI, seperti menteri, kepala daerah, dan sebagainya.
Pada 1978 untuk mengeliminir (membatasi) gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari “wayang-wayang” Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50 seperti A.H. Nasution, Ali Sadikin, H.R. Dharsono, A.M. Fatwa, Hoegeng, H.J. Princen, dan lain-lain, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru
Dalam perkembangannya kemudian muncul beberapa kontroversi seputar Orde Baru itu, diantaranya mengenai inkonsistensi Soeharto khususnya dalam melaksanakan pemerintahannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam perkembangannya, hanya tahun-tahun pertama kekuasaannya, atau sampai sekitar tahun 1973 pemerintah Orde Baru memberikan angin segar pada kehidupan demokrasi bagi rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Adapun dibidang ekonomi, hanya sampai sekitar paruh awal dekade 1980-an, pertimbangan ekonomi yang efisien dan rasional masih kelihatan dipergunakan.
Selanjutnya, terutama sejak peristiwa “Malapetaka Lima Belas Januari” (Malari) tahun 1974, pemerintah Orde Baru tidak memberi peluang kepada rakyat Indonesia untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 37. Justru untuk kepentingan kelanggengan pemerintahan Orde Baru, ada rekayasa politik dengan dikeluarkannya penetapan diangkatnya 100 anggota ABRI dan Utusan Golongan di DPR. Selain itu ada lembaga Litsus (Penelitian Khusus) bagi para calon anggota DPR dan MPR. Dalam Litsus ini dapat diketahui sampai mana loyalitas dan dedikasinya pada pemerintahan Orde Baru (baca : Soeharto). Dengan penetapan itu, maka Pasal 37 telah “terkunci” dan tidak memungkinkan lagi untuk terjadinya suatu amandemen.
.
(Peristiwa Malari adalah suatu peristiwa politik yang ditandai dengan demontrasi/kerusuhan besar-besaran dari para mahasiswa yang menentang kepemimpinan Soeharto yang dianggapnya telah melenceng dari GBHN, khususnya dianggap telah menjadi “budak” Jepang dalam ekonomi).
Demikian pula dengan jabatan Presiden. Selama pemerintahan Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang mengatur hal itu, sehingga pengertian “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali” seperti yang tertera dalam Pasal 7 UUD 1945 itu dapat ditafsirkan bahwa seseorang dapat dipilih berkali-kali tanpa batas, selama MPR memilihnya. Oleh karena itu selama pemerintahan Orde Baru, penyelenggaraan Pemilu pada dasarnya hanyalah sekedar jalan bagi terselenggaranya upacara pengesahan masa perpanjangan jabatan pada orang yang sama, yaitu Soeharto, karena memang pada dasarnya para anggota DPR/MPR adalah orang-orang yang dekat dan loyal kepada Soeharto.
Sementara itu pembangunan ekonomi yang menjadi ciri khas Orde Baru, yang didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi yang rasional dan efisien, sehingga mampu menekan angka inflasi dari sekitar 600% menjadi di bawah 10% dalam waktu relatif singkat di awal kekuasaannya, kemudian bergeser lebih banyak didasarkan kepada pertimbangan kepentingan kelompok atau keluarga tertentu (kemudian terkenal dengan istilah KKN = Korupsi-Kolusi-Nepotisme). Akibatnya tujuan pembangunan tinggalah retorik dan slogan ekonomi atau politik semata, seperti slogan-slogan Orde Lama yang dikritiknya, maka pada masa Orba banyak pula bermunculan Ketetapan Presiden (Keppres) dan Instruksi Presiden (Inpres) sebagai bentuk intervensi Presiden Soeharto.
Sampai awal tahun 1997. Dengan modal pinjaman luar negeri (IMF, Bank Dunia, ADB, IGGI, dll) pemerintah Orba masih mampu menunjukkan kepada rakyat Indonesia, angka-angka pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Namun sewaktu krisis moneter muncul melanda Asia, angka pertumbuhan ekonomi itu pun ambruk sejalan dengan ambruknya perekonomian Orba. Para konglomerat yang dibanggakan sebagai tiang penyangga pembangunan ekonomi Indonesia, ternyata hanya jago kandang, yang menjadi besar karena fasilitas dari pemerintah dan pinjaman luar negeri.
Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa (sekitar 32 tahun), istilah pembangunan, stabilitas, dan pertumbuhan telah menjadi jargon politik (propaganda politik) yang dijalankan oleh pemerintah. Untuk mencapi tujuan tersebut, negara telah mengambil peran yang menentukan dengan menempatkan kekuasaan yang besar di tangan presiden. Namun, dengan struktur politik yang dibuat pemerintah serta pengorganisasian seluruh unsur politik dan potensi masyarakat, peran negara semakin kuat yang dipresentasikan oleh semakin kuatnya tangan eksekutif pada Presiden Soeharto.
Untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan tahapan pelita yang direncanakan maka diperlukan stabilitas. Stabilitas akan tercipta apabila “oposisi” terhadap pemerintah dapat dikendalikan. Untuk itu, birokrasi pemerintahan dijaga dari unsur-unsur yang mampu melawan negara. Para pegawai pemerintah diorganisir dalam Korps Pegawai republik Indonesia(Korpri). Para buruh, pengusaha, wartawan, guru, pemuda, pelajar, mahasiswa, dan kelompok profesional ditampung dalam wadah yang disponsori pemerintah. Oleh karena itu lahirlah PGRI, IDI, KNPI, Kadin, PWI, dll.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada massa itu dikenal tiga partai Politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik dimana muncullah istilah “mayoritas tunggal” dimana Golkar dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Soeharto membangun dan memperluas konsep “Jalan Tengah”-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen. Melalui konsep dwi fungsi ABRI, angkatan bersenjata bukan hanya berfungsi menjaga keamanan dan integrasi bangsa, melainkan juga sebagai kekuatan dalam kehidupan politik. Hal ini bisa dilihat pada masa itu para pemimpin pejabat-pejabat negara berasal dari ABRI, seperti menteri, kepala daerah, dan sebagainya.
Pada 1978 untuk mengeliminir (membatasi) gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari “wayang-wayang” Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50 seperti A.H. Nasution, Ali Sadikin, H.R. Dharsono, A.M. Fatwa, Hoegeng, H.J. Princen, dan lain-lain, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru
Dalam perkembangannya kemudian muncul beberapa kontroversi seputar Orde Baru itu, diantaranya mengenai inkonsistensi Soeharto khususnya dalam melaksanakan pemerintahannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam perkembangannya, hanya tahun-tahun pertama kekuasaannya, atau sampai sekitar tahun 1973 pemerintah Orde Baru memberikan angin segar pada kehidupan demokrasi bagi rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Adapun dibidang ekonomi, hanya sampai sekitar paruh awal dekade 1980-an, pertimbangan ekonomi yang efisien dan rasional masih kelihatan dipergunakan.
Selanjutnya, terutama sejak peristiwa “Malapetaka Lima Belas Januari” (Malari) tahun 1974, pemerintah Orde Baru tidak memberi peluang kepada rakyat Indonesia untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 37. Justru untuk kepentingan kelanggengan pemerintahan Orde Baru, ada rekayasa politik dengan dikeluarkannya penetapan diangkatnya 100 anggota ABRI dan Utusan Golongan di DPR. Selain itu ada lembaga Litsus (Penelitian Khusus) bagi para calon anggota DPR dan MPR. Dalam Litsus ini dapat diketahui sampai mana loyalitas dan dedikasinya pada pemerintahan Orde Baru (baca : Soeharto). Dengan penetapan itu, maka Pasal 37 telah “terkunci” dan tidak memungkinkan lagi untuk terjadinya suatu amandemen.
.
(Peristiwa Malari adalah suatu peristiwa politik yang ditandai dengan demontrasi/kerusuhan besar-besaran dari para mahasiswa yang menentang kepemimpinan Soeharto yang dianggapnya telah melenceng dari GBHN, khususnya dianggap telah menjadi “budak” Jepang dalam ekonomi).
Demikian pula dengan jabatan Presiden. Selama pemerintahan Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang mengatur hal itu, sehingga pengertian “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali” seperti yang tertera dalam Pasal 7 UUD 1945 itu dapat ditafsirkan bahwa seseorang dapat dipilih berkali-kali tanpa batas, selama MPR memilihnya. Oleh karena itu selama pemerintahan Orde Baru, penyelenggaraan Pemilu pada dasarnya hanyalah sekedar jalan bagi terselenggaranya upacara pengesahan masa perpanjangan jabatan pada orang yang sama, yaitu Soeharto, karena memang pada dasarnya para anggota DPR/MPR adalah orang-orang yang dekat dan loyal kepada Soeharto.
Sementara itu pembangunan ekonomi yang menjadi ciri khas Orde Baru, yang didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi yang rasional dan efisien, sehingga mampu menekan angka inflasi dari sekitar 600% menjadi di bawah 10% dalam waktu relatif singkat di awal kekuasaannya, kemudian bergeser lebih banyak didasarkan kepada pertimbangan kepentingan kelompok atau keluarga tertentu (kemudian terkenal dengan istilah KKN = Korupsi-Kolusi-Nepotisme). Akibatnya tujuan pembangunan tinggalah retorik dan slogan ekonomi atau politik semata, seperti slogan-slogan Orde Lama yang dikritiknya, maka pada masa Orba banyak pula bermunculan Ketetapan Presiden (Keppres) dan Instruksi Presiden (Inpres) sebagai bentuk intervensi Presiden Soeharto.
Sampai awal tahun 1997. Dengan modal pinjaman luar negeri (IMF, Bank Dunia, ADB, IGGI, dll) pemerintah Orba masih mampu menunjukkan kepada rakyat Indonesia, angka-angka pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Namun sewaktu krisis moneter muncul melanda Asia, angka pertumbuhan ekonomi itu pun ambruk sejalan dengan ambruknya perekonomian Orba. Para konglomerat yang dibanggakan sebagai tiang penyangga pembangunan ekonomi Indonesia, ternyata hanya jago kandang, yang menjadi besar karena fasilitas dari pemerintah dan pinjaman luar negeri.
d.KEMUNDURAN ORDE BARU
Krisis ekonomi 1997-1998 yang melanda banyak negara termasuk Indonesia
mengakibatkan merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat, pemerintah
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto kemudian mencoba
mengatasi dengan berbagai cara. Namun,berbagai upaya yang dilakukan
gagal mengatasi merosotnya kondisi ekonomi,nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika semakin lemah,bahkan pernah mencapai Rp.15.000. Krisis
ekonomi pada masa Orde Baru seolah-olah menjadi satu-satunya masalah
pokok, masalah lain tertutupi oleh krisis ekonomi .Hal ini menyebabkan
krisis ekonomi 1997-1997 sering disebut sebagai fenomena gunung es. Aksi
demontrasi menuntut pemerintah mengatasi krisis ekonomi bermunculan di
berbagai kota, apalagi ketika sisi-sisi buruk Orde Baru dalam berbagai
bidang pada akhirnya bermunculan/dapat diketahui rakyat.Kepercayaan
terhadap pemerintah makin berkurang.Ketidakmampuan pemerintah Orde Baru
dalam mengatasi krisis ekonomi inilah yang kemudian disebut sebagai
sebab utama kemunduran Orde Baru.
Sumber : http://mrday49.wordpress.com/2013/09/25/perkembangan-masyarakat-indonesia-pada-masa-orde-baru/
Sumber : http://mrday49.wordpress.com/2013/09/25/perkembangan-masyarakat-indonesia-pada-masa-orde-baru/
Kehidupan NKRI pada Pemerintahan Orde Lama
1. Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan negara,
ditetapkan pula sistem demokrasi yang dipakai yaitun sistem demokrasi liberal.
Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya bertindak sebagai kepala negara.
Presiden hanya berhak mengatur formatur pembentukan kabinet. Oleh karena itu,
tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet. Presiden tidak boleh bertindak
sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi,Pni,dan PKI
mempunyai partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah
kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat
) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950.
Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dudkungan mayoritas dalam
parlemen (DPR pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet,
maka kabinet harus mengemblikan mandat kepada presiden. Setelah itu,
dibentuklah kabinet baru untuk mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan
demikian satu ciri penting dalam penerapan sistem Demokrasi Liberal di negara
kita adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan.
Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah
kabinet Natsir. Sebagai formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi
yang menjadi partai politik terbesar saat itu. Program kerja Kabinet Natsir
pada masa pemerintahannya secara garis besar sebagai berikut ;
a.
Menyelenggarakan
pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat.
b.
Memajukan
perekonomian, keeshatan dan kecerdasan rakyat.
2
c.
Menyempurnakan
organisasi pemerintahan dan militer.
d.
Memperjuangkan
soal Irian Barat tahun 1950.
e.
Memulihkan
keamanan dan ketertiban.
Dalam
menjalankan kebijakannya, kabinet ini banyak memenuhi hambatan terutama dari
tubuh parlemen sendiri. Bentuk negara yang belum sempurna dengan beberapa
daerah masih berada ditangan pemerintahan Belanda memperuncing masalah yang ada
dalam kabinet tersebut. Perbedaan politik antara presiden dan kabinet tersebut
menyebabkan kedekatan antara presiden dengan golongan oposisi (PNI). Hal itu
menentang sistem politik yang telah berlaku sebelumnya, bahwa presiden
seharusnya memiliki sikap politik yang sealiran dengan parlemen. Secara
berturut-turut setelah kejatuhan kabinet Natsir, selama berlakunya sistem
Demokrasi Liberal, presiden membentuk kabinet-kabinet baru hingga tahun 1959.
Pada masa
Demokrasi Liberal ini juga berhasil menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan
pada 29 september 1955 dengan agenda pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik
pada 20 Maret 1956. Pemilu pertama tersebut juga telah berhasil badan
konstituante (sidang pembuat UUD). Selanjutnya badan konstituante memiliki
tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam badan konstituante sendiri, terdiri
berbagai macam partai, dengan dominasi partai-partai besar seperti
NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut dapatlah diketahui bahwa
lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi. Konstituante melaksanakan
tugasnya ditengah konflik berkepanjangan yang muncul diantara pejabat militer,
pergolakan daerah melawan pusat dan kondisi ekonomi tak menentu.
2.Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
a. Sistem
politik Demokrasi Terpimpinat
Kekacauan
terus menerus dalam kesatuan negara Republik Indonesia yang disebabkan oleh
begitu banyaknya pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika
diberlakukannya sistem demokrasi liberal. Pergantian dan berbagai respon dari
dari daerah dalam kurun waktu tersebut memaksa untuk dilakukannya revisi
terhadap sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku presiden memperkenalkan konsep
kepemimpinan baru yang dinamakan demokrasi terpimpin. Tonggak
bersejarah di berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
3
Peristiwa
tersebut mengubah tatanan kenegaraan yang telah terbentuk sebelumya. Satu hal
pokok yang membedakan antara sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin
adalah
kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal, parlemen memiliki kewenangan yang
terbesar terhadap pemerintahan dan pengambilan keputusan negara. Sebaliknya,
dalam sistem Demokrasi Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh
bidang pemerintahan.
Dengan
diberlakukannya Dekrit Presiden 1959 terjadi pergantian kabinet dari Kabinet
Karya (pimpinan Ir.Djuanda) yang dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan
dengan pembentukan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana
menteri dan Ir.Djuanda sebagai menteri pertama. Kabinet ini yang memiliki
program khusus yang berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan
pembebasan Irian Barat. Pergantian institusi pemerintahan anatara lain di MPR
(pembentukan MPRS), pemebntukan DPR-GR dan pembentukan DPA.
Perkembangan
dalam sistem pemerintahan selanjutnya adalah pernetapan GBHN pertama. Pidato
Presiden pada acara upacara bendera tanggal 17 agustus 1959 berjudu”Penemuan
Kembali Revolusi Kita”dinamakan Manifestasi Politik Republik
Indonesia(Manipol),yang berintikan USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Institusi negara selanjutnya
adalah mengitegrasikan sejumlah badan eksekutif seperti MPRS, DPRS, DPA,
Depernas, dan Front Nasional dengan tugas sebgai menteri dan ikut serta dalam
sidang-sidang kabinet tertentu yang selanjutnya ikut merumuskan kebijaksanaan
pemerintahan dalam lembaga masing-masing.
Dalam
Demokrasi Terpimpin presiden mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu
Nasionalis, Agama dan Komunis. Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam
mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah
menjadikan jabatan tersebut sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya.
Presiden sebagai penentu kebijakan utama terhadap masalah-masalah dalam negeri
maupun luar negeri .
b. Gerakan 30 September 1965
Salah satu
momen sejarah yang mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah Indonesia
adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai saat ini
masih menimbulkan kontrofersi dalam pengungkapan fakta yang sebenarnya.
Berbagai versi tentang gerakan 30 S tersebut telah dikemukakan diantaranya;
Peristiwa G 30 S versi Pemerintah
Orde Baru yakni peristiwa 30 S merupan suatu tindakan makar yang dilakukan oleh
PKI terhadap pemerintah Indonesia yang sah. Tindakan kudeta tersebut dilakukan
untuk merebut kekuasaan dari Ir.Soekarno selaku Penguasa Tertinggi
4
Angkatan Bersenjata dan Presiden seumur hidupberdasarkan konsep Demokrasi
Terpimpin.
Cara
penggulingan tahun 1965 tersebut adalah dengan menyatukan sejumlah organisasi
onderbouw yang masih tersisa pascaperistiwa 1948.
c. Dampak G 30 S dan Proses Peralihan
Kekuasaan Politik
Adapun
dampak dari peristiwa G 30 S adalah :
- Demostrasi
menentang PKI
Penyelesaian aspek politik terhadap para pelaku G 30 S 1965/PKI akan di
putuskan dalam sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 dan belum terlihat
adanyaa tanda-tanda akan dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut
pemeritah agar segera menyelesaikan masalah tersebut dengan seadil-adilnya.
Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda dan pelajar-pelajar Indonesia
seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul pula kasi yang dilakukan oleh KABI,KAWI yang
membulatkan tekad dalam Front Pancasila.
- Mayjen
Soeharto menjadi Pangad
Sementara itu untuk mengisi kekosongan pimpinan AD, pada tanggal 14 oktober
1965 Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat menjadi
Menteri/Panglima AD. Bersamakan itu diadakan tindakan-tindakan pembersihan
terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.
- Kedaan
ekonomi yang buruk
Sementara itu kedaan ekonomi semakin memburuk. Pada saat itu politik
sebagai panglima, akibatnya masalah lain terabaikan. Akibatnya di daerah muncul
berbagai gejolak sosial yang pada puncaknya menimbulakan pemberontakan.
- Tri Tuntutan
Rakyat
Pada tanggal 12 januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam
Front Pancasila tersebut berkumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan
Tritura yang isinya :
a.
Pembubaran
PKI dan ormas-ormasnya.
b.
Pembersihan
kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c.
Penurunan
harga barang-barang.
Aksi Tritura
berlangsung selama 60 hari sampai dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966.
- Kabinet
seratus menteri
Pada tanggal 21 februari 1966 presiden Soekarno mengumumkan perubahan
kabinet
5
9(reshuffle). Kabinet baru ini diberi nama kabinet Dwikora yang
disempurnakan.
Adapun proses peraliahan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru
adalah sebagai berikut ;
-
Tanggal 16
Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan
Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada awalnya untuk
menghormati presiden AD tetap mendukungnya. Namun presiden enggan mengutuk G 30
S AD mulai mengurangi dukungannya dan lebih muali tertarik bekerja sam dengan
KAMI dan KAPPI.
-
Keberanian
KAMI dan KAPPI terutam karena merasa mendapat perlindungan dari AD. Kesempatan
ini digunakan oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa baik demi pulihnya
kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal
yaitu M.Yusuf, Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui
presiden guna menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai
hasilnya lahirlah surat perintah 11 Maret
1966 .
-
Pada tanggal
7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden melalui
perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat
penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang
Supersemar.
-
Pada 8
Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama empat
panglima angkatan bersenjata.
-
Disaat belum
tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara dan
semakin bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari 1967
DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar sidang Istimewa
dilaksanakan.
-
Tanggal 10
Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepad presiden Soekarno untuk
membicarakan masalah negara.
-
Pada tanggal
11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk
mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan presiden
berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pemegang
Supersemar sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden kemudian
meminta waktu untuk mempelajarinya.
-
Pada tanggal
12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan presiden,
presiden tidak dapat menerima konsep tersebut karena tidak
menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan.
-
Pada tanggal
13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk membicarakan konsep
yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden
6
-
Pada tanggal
20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah diadakan
sedikit perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata menjaga dan
menegakkan revolusi.
-
Pada tanggal
23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden /Mendataris
MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan
pemerintah kepada pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto.
-
Pada bulan
Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan
pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto
sebagai pejabat presiden RI.
Sumber : http://sokhi95.blogspot.com/2013/04/makalah-mengenai-orde-lama-orde-baru.html
Langganan:
Postingan (Atom)